LANJUTAN BAGIAN KETIGA: NASAB BA ALAWI TIDAK SYUHRO DAN TIDAK ISTIFADLOH
NASAB BA ALAWI TIDAK SYUHRO DAN TIDAK ISTIFADLOH
Ketika kita mengetahui bahwa fulanah
adalah ibu kita, darimana kita tahu bahwa ia adalah ibu kita, padahal kita
tidak melihat dengan mata kepala sendiri ketika kita dilahirkan oleh fulanah
itu? Kita mengetahuinya dari orang lain, dari keluarga kita, dari tetangga kita
dan dari yang lainnya, itulah makna syuhroh wal istifadloh secara sederhana.
Syuhro wal istifadloh (at-tasamu‘,
mendengar dari mulut ke mulut) adalah cara yang diakui Islam untuk menentukan
beberapa masalah fikih, termasuk nasab. Madzhab empat sepakat teori syuhroh wal
istifadloh dapat diterapkan sebagai hujjah dalam menentukan nasab dan
menafikannya. Nabi Muhammad Saw. menggunakan syuhroh walistifadloh ketika ia
meyakini bahwa Hamzah bin Abdul Muttolib adalah saudara satu susuan dari
Tsuwaibah, padahal Nabi waktu itu tidak melihat sendiri ketika Hamzah menyusu
kepada Tsuwaibah karena Hamzah menyusu dua tahun sebelum Nabi Muhammad menyusu.
[1]
Syuhroh belum tentu istifadloh. Contoh:
Abu bakar itu berasal dari Suku Quraisy. Yang demikian mashur diketahui oleh
semua orang baik di Makkah maupun suku lainnya di Arab, bahkan seluruh dunia
Islam. Itu Syuhroh (masyhur) dan Istifadloh (menyeluruh). Ibnu Jauzi (w. 597)
berasal dari Quraisyi. Yang demikian itu diketahui oleh ahli ilmu tapi tidak
diketahui semua orang. Itu Syuhroh tapi tidak istifadloh (menyeluruh).
Ketika dikampung kita ada seorang sayyid
atau syarif yang dikenal secara masyhur bahwa ia adalah syarif karena lahir
dari seorang syarif dan kakeknya juga dikenal sebagai syarif maka ia bisa
diyakini oleh kita sebagai syarif. Dalam arti jika kita bersaksi bahwa ia
adalah seorang syarif maka kita tidak dianggap berdusta dalam kesaksian. Tapi
apakah yang demikian itu cukup menjadi dalil bahwa ia syarif asli? Belum. Masih
membutuhkan syarat lainnya yaitu syuhroh wal istifadloh itu harus dalam semua
generasi sampai generasi yang diakui.
Jika seseorang mengaku sebagai
keturunan Nabi Muhammad s.a.w. maka dalam setiap generasi itu harus masyhur
bahwa ia adalah keturunan Nabi, bukan hanya di masanya tapi terus dimasa
ayahnya, kakeknya, buyutnya dst. Bagaimana cara mengetahuinya?
Cara mengetahuinya adalah dengan
syuhro wal istifadloh dimasanya. Yaitu dengan masyhurnya ia sebagai keturunan
Nabi lalu untuk masa selanjutnya dengan kesaksian bahwa ia adalah cucu dari
kakeknya yang dikenal sebagai turunan Nabi, dan jika sudah tidak ada saksi yang
masih hidup untuk generasi selanjutnya ke atas, maka dibutuhkan kesaksian
kitab-kitab nasab.
Jika tidak ada kesakisan
kitab-kitab dari nama-nama itu semua, maka disitulah syuhroh walistifadloh
berlaku. Tapi jika misal di abad 5 ada kitab nasab yang menyebut Ahmad dengan
nama anak-anaknya, tapi tidak menyebut ubaidillah sebagai anaknya, maka tidak
bisa menggunakan teori syuhro walistifadloh untuk ubaidillah. Ia tertolak,
karena ada bayyinah yaitu kesaksian kitab semasa yang menyatakan Ubaidillah
bukan anak Ahmad.
Imam Ar-Ruyani (w.502) menyebutkan di dalam kitab Bahrul
Madzhab pendapat Imam Sayfi‘I tentang syarat-syarat syuhroh
wal istifadloh, sebagai berikut:
فهذه شرائط أربع طول الزمان وانتسابو إلى ذلك
النسب ونسب غتَه إيَه وعدم الدافع وٕعدم الأدلة التي ىي سبب البينة حتى تٕوز
الشهادة على النسبٕٜٚ
“maka
inilah empat syarat (penetapan nasab): sepanjang zaman; bernisbat kepada nasab
yang orang lain (juga) bernasab kepadanya; tidak ada penolak; dan tidak adanya
dalil-dalil yang merupakan sebab (ia bisa menjadi) bayyinah (bukti), sehingga
bisa bersaksi terhadap nasab itu. (Bahrul Madzhab: 14/134 al maktabah
asyamilah) Ibnu Hajar Al-asqolani berkata: ان النسب ت٦ا يثبت بالاستفاضة الا ان يثبت ما
يخالفوٕٜٛ
“Sesunggunya nasab adalah sebagian dari yang
bisa ditetapkan dengan metode istifadloh kecuali telah sohih sesuatu yang
menentangnya” (al Jawab al Jalil: 47)
Nasab para habib Ba Alawi, tidak
bisa dikatakan sudah syuhroh wal istifadloh, karena syuhrohnya (masyhurnya)
hanya sekarang sampai abad ke 9, sedangkan sebelumnya, abad 8,7,6,5 dan 4
keluarga ini tidak syuhroh dan tidak istifadloh. tidak ada yang menyebut
297. بحر المذهب: 39/329 المكتبة الشاملة
298الجواب الجلٌٌل عن حكم بلد الخلٌٌل: 97
Ubadilah sebagai anak Ahmad dari mulai masanya hidup, yaitu
abad ke empat samapai abad 9 H.
KESIMPULAN
Berdasarkan data-data ilmiyah yang penulis sebutkan di
atas, penulis menyimpulkan:
1. Bahwa
penisbatan keluarga habib Ba Alawi kepada Nabi Muhammad Saw. dimulai baru pada
abad 9 Hijriah, yaitu ketika habib Ali al-Sakran mengiinterpretasi nama
Abdullah yang terdapat dalam kitab al-Jundi (732 H.) sebagai orang yang sama
dengan Ubaid leluhur Ba Alawi. Jadi penisbatan tersebut setelah 550 tahun sejak
wafatnya Ahmad bin Isa. Selama 550 tahun sebelumnya, tidak ada kitab nasab yang
menyebut Ubadillah sebagai anak Ahmad bin Isa.
2. Abdullah
yang disebut kitab al-Jundi (w. 732 H.) dalam kitab al-Suluk sebagai anak Ahmad
bin Isa, terputus riwayat selama 387 tahun sejak wafatnya Ahmad bin Isa. Dan
keberadaan Abdullah sebagai anak Ahmad bin Isa tertolak, karena kitab yang
lebih tua, yaitu kitab al-Syajarah
al-Mubarokah karya Imam al-Fakhrurozi menyebutkan dengan tegas bahwa anak
Ahmad bin Isa berjumlah tiga orang yaitu: Muhammad, Ali dan Husain.
3. Nasab
para habib Ba Alawi terputus 550 tahun. Sangat sukar sekali menurut takaran
ilmiyah untuk menyebut bahwa para habib Ba alawi adalah sahih sebagai keturunan
Nabi Besar Muhammad Saw. Dari sisi riwayat nasab para habib ini adalah munqati‟ (terputus); dari sisi nasab,
nasab ini termasuk dalam kategori mardud
al-nasab (nasab yang tertolak).
Sebagai manusia yang lemah dengan segala kekurangan
tentunya penulis bersedia mendapatkan masukan dari berbagai fihak akan
kekurangan buku penulis ini. Wallahu
a‟lamu bi haqiqatil hal.

Posting Komentar untuk "LANJUTAN BAGIAN KETIGA: NASAB BA ALAWI TIDAK SYUHRO DAN TIDAK ISTIFADLOH"
Terima kasih kunjungannya, silahkan beri komentar ...